Siapa yang tidak kenal dengan Agus Mulyadi. Penulis, Blogger sekaligus mantan redaktur Mojok yang sudah memiliki ribuan pengikut di Instagram pribadinya, sudah centang biru lagi. Organik pula, bukan beli. Aku cukup sering membaca tulisan-tulisan Mas Agus.
Entah berupa caption Instagram, atau buku-bukunya. Bahkan pernah suatu ketika aku sedang mumet-mumetnya menulis skripsi di sebuah kedai kopi, lalu aku teringin mencari hiburan dari tulisan Mas Agus. Sayangnya, semua caption Instagramnya sudah ku baca.
Lalu aku melihat satu unggahan Mas Agus tentang buku terbarunya, Sebuah Seni untuk Memahami Kekasih. Kebetulan aku belum pernah membaca bukunya itu. Lalu segera ku sudahi aktivitas menulis skripsi, aku langsung memacu motor ke sebuah toko buku indie, Berdikari Book dan membeli buku baru Mas Agus.
Tidak butuh waktu lama, aku menyelesaikan buku itu dalam sekali duduk saja. Bukunya memang tipis, isinya juga kumpulan cerita Mas Agus dan Istrinya, Mbak Kalis ketika masih berpacaran. Namanya juga pacaran, ada saja cerita-cerita heroik yang dipaksa romantis oleh sepasang kekasih itu.
Kurasa, setiap orang yang memiliki pasangan, pasti merasakan apa yang Mas Agus tuliskan di bukunya itu. Namun, itulah piawainya Agus Mulyadi dalam menertawakan setiap momen dalam hidupnya. Sehingga ia mampu mengolah tulisan yang lucu dan apik dari kejadian yang lumrah.
Aku sudah pernah menuliskan review buku Sebuah Seni untuk Memahami Kekasih di blog ini. Mungkin jika teman-teman penasaran dan berminat membacanya, bisa mengunjungi artikelnya di sini. Selain buku Sebuah Seni untuk Memahami Kekasih, ada satu buku karangan Mas Agus Mulyadi yang membuatku tertawa terbahak-bahak. Saking lucunya buku tersebut, aku tidak bisa mengontrol tawa ketika membacanya di kedai kopi. Sampai aku pindah tempat ke lantai atas yang cenderung sepi karena takut mengganggu pengunjung lain dengan tawaku yang diluar kendali itu. Judul bukunya Lambe Akrobat.
Sama dengan Sebuah Seni untuk Memahami Kekasih, review buku Lambe Akrobat juga sudah pernah ku tulis di blog ini. Buku Lambe Akrobat bercerita tentang kejadian sehari-hari Mas Agus Mulyadi. Mulai dari cerita kejadian lucu di tengah keluarganya, susahnya bertahan hidup di Jogja, sampai terkena tawaran lowongan pekerjaan bodong.
Saat pertama kali membaca buku Lambe Akrobat, aku tidak merasakan hal lain selain lucu dan terhibur dari cerita Mas Agus. Namun, setelah membacanya untuk kali kedua, aku jadi merasa banyak yang relate antara pengalamanku dan pengalaman Mas Agus. Dan pengalaman yang mirip itulah yang akan ku tuliskan di sini. Semoga tidak membosankan, dan teman- teman membaca tulisan ini sampai akhir.
Berurusan dengan Bayi Memang Membingungkan
Mengawali dengan cerita Mas Agus tentang Bapaknya. Ketika Mas Agus bayi, Bapaknya Mas Agus pernah menjemur Mas Agus di tanah kebun di depan rumahnya. Itu terjadi karena Mas Agus nangis terus, khas anak bayi lah pokoknya. Dan seperti orang tua pada umumnya, pasti bilang begini ke anaknya.
Diem dong (nama anak)....diem dong.
Coba deh, pasti si anak tidak akan diam, kan. Sedangkan untuk mencari penyebab menangisnya bayi itu, tidak semua orang tua piawai melakukannya. Pun kalau bisa, kita pasti menebak-nebak kenapa anak ini menangis. Apakah buang air, risih, kepanasan, lapar, haus, atau apa? Pertama kali membaca buku ini, waktu itu aku belum menikah kan, jadi ya nggak relate lah dengan apa yang dialami Bapak Mas Agus.
Sekarang, setelah berpengalaman mengurus bayi, aku jadi paham betapa putus asanya Bapak Mas Agus waktu itu ketika anaknya menangis terus, dan akhirnya diletakkan di atas tanah kebun beralaskan bantal. Bukan nggak sayang atau sembrono, tapi udah habis akal mau diapain lagi anaknya supaya diam.
Setelah kejadian itu, Mas Agus tidak pernah nangis lagi. Benar- benar diam. Kesambet katanya. Bapak Mas Agus tentu jadi pusing lagi, lalu mencari penyebab kenapa anaknya nggak nangis-nangis. Dasar bayi ya kan, belum bisa bicara. Nangisnya buat panik orang tua, kalau diam aja nggak nangis-nangis, orang tuanya juga panik. Berurusan dengan bayi memang membingungkan.
Mencari Kerja di Jogja yang Gampang -gampang Susah
Cari kerja di Jogja itu gampang-gampang susah. Gampang mencarinya, susah dapat kerjanya. Lowongan sih banyak, tapi terkadang pekerjaannya di luar nalar. Ada yang membuka lowongan marketing, ketika dilamar dan wawancara ternyata pekerjaannya menjadi sales perusahaan pialang. Ya marketing sih, cuma kan jauh diluar perkiraan BMKG.
Parahnya, dari banyaknya lowongan kerja yang bersebaran itu, tidak jarang yang bodong, alias tipu-tipu. Semasa aku kuliah, sekitar tahun 2015, sedang tren sekali pekerjaan menempel tali teh celup. Iya, teh celup kan ada talinya, nah untuk menempelkan tali ke kantong teh celupnya itu ada buruhnya. Biasanya iklannya ada di tempel di tiang listrik dekat kos-kosan, lampu merah, atau di dinding luar gedung kampus. Area yang cukup strategis untuk dilihat mahasiswa putus asa yang butuh uang tambahan.
Bayangkan saja, sedang lelah pulang kuliah, bersandar di tiang kaca cembung pinggir jalan, eh nemu lowongan kerja. Meski rada tidak masuk akal, namanya juga butuh uang, semuanya jadi logis. Konon, penulis sekelas Mas Agus Mulyadi ini pernah juga terkena lowongan pekerjaan bodong nempel tali teh celup ini. Saat itu, beliau memang sedang tidak punya kerjaan di Jogja. Tuntutan hidup dan himpitan biaya lah yang membuat orang-orang putus asa ini gelap mata dan mencoba jenis lowongan pekerjaan apapun, asal dapat uang.
Punya Adik yang Hobi Jualan
Di satu kisah Mas Agus Mulyadi menceritakan salah seorang dari adiknya yang suka sekali berdagang. Apapun dijual. Di mana ada barang- barang yang lagi hype, maka akan ada adiknya yang siap berburu dan menjual barang tersebut. Sayangnya, orang yang pertama kali menjadi sasaran untuk membeli dagangan itu pasti orang terdekat. Beragam cara dibuat agar orang terdekat mau membeli dagangan.
Pengalaman ini mirip sekali dengan pengalamanku. Aku juga punya adik yang hobi jualan. Apapun dia jual. Saat tongsis lagi ramai digunakan, adikku sudah berbisnis tongsis dengan gurunya. Tentu saja transaksi dilakukan di jam luar sekolah ya. Adikku sudah berjualan sejak dia sekolah dasar.
Bak gayung bersambut, sekolah adikku mendukung siswanya untuk menjadi entrepreneur dengan memberikan kesempatan untuk berjualan setiap hari Sabtu. Semakin menjadi lah kesenangan adikku terhadap jualan. Tas nya selalu dipenuhi uang.
Suatu saat, sedang booming sedotan stainless. Di mana orang-orang beralih dari sedotan plastik ke sedotan stainless sebagai gerakan menjaga bumi. Tentu adikku tidak mau melewatkan momen itu dong. Dia dengan sergap menjual berbagai macam peralatan makan dan minum dari stainless dan menawarkannya kepada kami, orang terdekatnya di rumah. Orang yang pertama kali dia tawarkan adalah ibu saya. Dia memang tau itu adalah sumber uangnya.
Ma. Ini waktunya kita pakai sedotan stainless. Coba banyangkan, berapa banyak penyu di laut yang kena bahaya karena sampah plastik. Kita harus menolong penyu. Rayu adikku.
Saat itu mungkin ibuku sedang lapar dan baru saja pulang dari kantor. Sehingga tidak ada energi untuk meladeni marketing sedotan itu.
Ah, apa gunanya mama sendiri yang beli, kalau yang lain masih pake plastik. Balas ibuku sambil melengos pergi ke dapur.
Karena kasihan dan iba, akhirnya aku membeli sepaket perlengkapan minum berupa tiga macam sedotan stainless itu seharga Rp100.000. Mulai hari itu, aku selalu jadi sasaran adikku untuk melariskan barang dagangannya. Mulai dari masker lumpur, masker organik yang belakangan kena grebek sampai barang-barang aneh lainnya.
Menertawakan Hidup
Belum berdamai seseorang dengan hidupnya sampai ia mampu menertawakan kesialan atau kesedihannya
Begitu kutipan yang pernah kudengar dari sebuah kajian filsafat. Hidup bagaikan sebuah komedi yang penuh dengan lika-liku, di mana momen bahagia dan kesialan saling bergantian.
Terkadang, kita dihadapkan pada situasi yang begitu sulit dan membuat kita ingin menyerah. Namun, di sinilah letak kekuatan humor: kemampuan untuk menemukan tawa di tengah kesialan dan mengubah perspektif kita terhadap hidup.
Menertawakan hidup bukan berarti mengabaikan masalah atau bersikap tidak peduli. Justru, ini adalah tentang
menemukan cara untuk mengatasi situasi sulit dengan senyuman dan kepositifan. Humor dapat menjadi alat
yang ampuh untuk mengurangi stres, meningkatkan ketahanan mental, dan membangun optimisme.
Kalau kamu, kejadian atau kesialan apa dalam hidupmu yang sudah bisa kamu tertawakan? Sharing pengalaman
kalian di kolom komentar, ya.
4 Comments
Kunci dalam menghadapi hal yg kurang mngenakan adalah menertawakan diri sendiri dulu ...mgkin dr tertwa dpt menimbulkan positif thinking
BalasHapusSepertinya saya butuh membaca buku dengan genre seperti ini juga. Biar urat sedikit mengendur. Maklum emak-emak uratnya dikit-dikit ketarik. :')
BalasHapusHahaha. Lucu pas bagian berurusan dengan bayi. Memang sangat membingungkan, karena menangis jadi satu-satunya bahasa yang digunakan. Bahkan yang namanya orang tua, kalau baru pertama kali oum masih bingung
BalasHapusReview-nya lengkap banget, suka deh. Aku kalo liat konten Mas Agus Mulyadi di Ig juga suka ngakak sendiri, ternyata beliau pernah jadi redaktur mojok.co tho
BalasHapus