Tunggu Aku di Setiap Malam Minggu

Tunggu Aku di Setiap Malam Minggu


Di dalam ruangan di sudut sebuah kedai kopi di Jalan Bausaran terlihat seorang perempuan tengah duduk kebingungan. Sebentar melihat gawai dan sebentar lagi melihat buku bacaannya. Ia tampak gelisah, entah apa yang sedang dicarinya. 

Perempuan itu hadir di sebuah acara rutin kedai kopi tersebut. Tutur Tinular Coffee, bukan hanya sekadar rumah bagi penikmat single origin, namun juga menjadi rumah tempat para seniman memamerkan karyanya. Seperti malam ini. 

Setiap malam Minggu, Tutur Tinular Coffee mengadakan pementasan musik. Hal ini dilakukan untuk memberikan ruang apresiasi pada karya seniman. Dalam balutan acara Coffee Cantata, dan alunan violin yang dimainkan pemusik, perempuan muda itu hanyut dalam melodi.

Wajah kecewa dan lesunya tidak bisa disembunyikan. Tampak seperti seseorang yang sedang menunggu dan kesal karena yang ditunggu tidak kunjung datang. Perempuan itu sesekali menyesap kopi dalam cangkir yang digenggamnya. Ingatannya terbang ke kejadian satu tahun silam di kedai kopi ini.

"Lubna, setelah menyelesaikan studi Pascasarjana, aku berniat ingin meninggalkan Jogja. Ya, sekadar mencari pengalaman di kota lain. Juga mengumpulkan banyak uang. Kamu sungguh paham kalau Jogja tidak bisa memberikan itu kepadaku". Ujar Haikal.

"Pergilah ke mana hatimu ingin melangkah, Haikal. Kalau katanya Paulo Coelho sih keberuntungan itu ada di tempat yang kau letakkan hatimu di dalamnya". Balas Lubna dengan binar mata yang mantap. Percaya bahwa laki-laki dihadapannya mampu sampai kepada semua mimpi yang dimilikinya. 

"Lalu kau? Akan kah kamu tetap di sini?".

"Haikal, seperti yang sudah berulang kali kukatakan padamu. Aku tetap di Jogja dan tidak akan ke mana-mana." Ujar Lubna sambil menatap tajam meyakinkan orang yang dicintainya itu.

"Kalau begitu, ini pertemuan terakhir kita. Aku akan berangkat besok malam. Kita akan bertemu setiap malam Minggu di sini, di kedai kopi ini. Kita bertemu di setiap acara Coffee Cantata di gelar". 

"Hah. Gila. Yang benar saja, Haikal. Secepat itu kamu berangkat? Memang kamu mau pindah ke kota mana?", tanya Lubna penuh penasaran.

"Rahasia." Jawab Haikal sembari menyusun semua barangnya dan bersiap meninggalkan Lubna di Tutur Tinular Coffee, kedai kopi kesayangan mereka berdua. 

Tidak sempat perempuan itu membalas perkataan Haikal, laki-laki bertubuh jangkung itu langsung pergi ke luar kafe dan hilang dalam pandangan matanya. Perempuan itu tidak mengejar, tubuhnya kaku, pikirannya mencoba mencerna kembali kata-kata Haikal. 

Itulah sebabnya mengapa perempuan yang bernama Lubna itu selalu ada di acara Coffee Cantata di setiap malam Mingu. Ia sedang menunggu Haikal, seorang teman yang diam-diam ia taruh hatinya pada laki-laki yang memiliki hidup yang keras itu. 

Haikal dan Lubna pertama kali bertemu di sebuah kampus. Karena merasa obrolannya yang cocok dan nyambung, Lubna dan Haikal berteman baik. Mereka biasanya sama-sama mengisi waktu istirahat dengan makan siang bersama atau sekadar diskusi tentang mata kuliah yang baru saja selesai.

Haikal yang memiliki kehidupan yang sulit, merantau ke Jogja karena menuntut ilmu, terpaksa harus meninggalkan orang tua satu-satunya, ibu di kampung halamannya. Haikal tidak pernah meminta Lubna membantunya. Tidak mungkin Haikal mendekati Lubna hanya karena harta. Dia bukan laki-laki rendahan seperti itu. 

Beruntung, Haikal memiliki kemampuan desain grafis yang cakap. Sehingga bisa menopang biaya hidupnya selama kuliah di Jogja. Sering kali ia mendapatkan pesanan dari teman-temannya dan orang-orang yang ia kenal di situs pekerja lepas. 

Haikal memiliki banyak hal yang tidak dimiliki pria lain. Di mata Lubna dia nyaris sempurna. Seperti saja keteguhan Haikal dalam menaklukkan hari-harinya, kuliahnya, dan hidupnya. 

Lubna pernah bertanya kepada Haikal tentang mengapa meski sudah sangat dekat, Haikal bahkan tidak pernah mengeluh kepada Lubna. Sedangkan Lubna selalu menyampaikan isi hatinya dengan gamblang, termasuk keluhannya yang banyak itu. 

Yang terbiasa menari dalam badai tidak akan terusik oleh gerimis. Kata-kata yang sering diulang-ulang Haikal tatkala Lubna mengeluh. 

"Mengeluh boleh saja. Asal jangan sering mengeluh pada manusia. Berkeluh kesah lah pada Tuhan, Lubna. Cuma Dia yang tidak bosan dan tidak akan mengecewakanmu," nasihat Haikal pada Lubna di suatu kesempatan.

"Tapi aku ingin jawaban yang pasti. Tidak bisa menunggu dan harus sekarang," timpal Lubna tidak mau kalah.

"Harusnya jika kamu punya hati yang bersih, jawaban ada di mana-mana," timpal Haikal. Dia sangat sabar menjawab setiap pertanyaan dari Lubna. Ini lah yang membuat Lubna meski harus menunggu lama pun, ia rela menghabiskan waktunya asal untuk Haikal.

Terdengar aneh dan tampak bodoh. Namun cinta sangat dekat dengan dua hal tersebut. Di mata orang bisa saja kamu nampak aneh dan bodoh, namun bagimu dan hanya kamu yang tahu sebab dan alasan mengapa bertahan. 

Lubna menunggu lama di acara Coffee Cantata tersebut. Musik demi musik dimainkan. Tiba-tiba saja, Mas Abe sang barista pergi ke arah pintu masuk dan menyambut seseorang yang baru datang. Suara Mas Abe riuh, seperti menyambut seseorang yang sudah lama tidak tampak.
  
"Dari mana aja kamu, bro? Sudah lama banget tidak terlihat. Kamu sehat kan Kal?," ujar Mas Abe antusias.

Lubna tentu saja langsung terperanjat. Ia membalik ke belakang, menoleh ke arah Mas Abe dan seseorang yang baru datang. Senyum lebar terpatri di bibir Lubna. Luruh sudah khawatir dan setiap debar jantungnya. Tepat di malam Minggu ke 60, Haikal benar-benar datang menepati janjinya. Bertemu kembali di Tutur Tinular, kedai kopi kesayangan mereka.

Lubna yang terpaku tidak berani bergerak bak melihat hantu. Perlahan Haikal datang menghampirinya. Membelah kerumunan, datang menghampiri Lubna yang masih terdiam.

"Hai Na. Terima kasih sudah selalu datang. Sekarang mari kita nikmati musik ini sampai tua bersama-sama. Mari juga kita lanjutkan mimpi yang tertunda, bersama-sama," bisik Haikal pada Lubna.

Lubna tersenyum lebar. Dia membiarkan Haikal duduk di sebelahnya. Kursi yang selama ini dibiarkan kosong, kini sudah ada yang punya. 

"Apa yang membuatmu selalu datang ke sini lagi dan lagi, meski aku tidak ada di sini?," tanya Haikal.

"Rindu. Rindu yang menggerakkan kaki berjalan ke tempat di mana memori yang kuat tentang kebersamaan itu ada. Rindu pula yang membawa setiap desiran hangat ketika aku tidak melihatmu di sini. Rindu yang mendatangkan yakin, suatu saat kamu pasti hadir di sini." Ujar Lubna berbinar.

"Ya. Cinta adalah menghabiskan waktu tanpa terasa. Tidak ada yang sia-sia. Memberikan yang terbaik dari apa yang ada. Senang lama-lama. Penuh suka cita. Sukarela. Bahagia. Dan kita." Balas Haikal dengan senyuman tipis.

Senyuman yang tentu sangat dirindukan Lubna. Mereka menghabiskan malam Minggu dengan mendengarkan musik violin. Satu jam lagi acara Coffee Cantata akan berakhir, dan perjalanan mereka berdua dimulai.

6 Comments

  1. Kisah-kisah penantian kayak gini tuh selamu bikin mesem-mesem sendiri.... Gemessss

    BalasHapus
  2. tim yang kebagian nyengirnya aja, hehe ... Lubna tipe yang setia ya, Haikal juga ding, dia nepatin janji untuk kembali

    BalasHapus
  3. Penantiannya tidak sia-sia. Kebayang kalau rindunya pada orang yang salah, ngenesnya pasti lebih dari 60 minggu.

    BalasHapus